Teater Dari Sulawesi Selatan, Teater dari Jakarta (Betawi), Teater dari Kalimantan Selatan, Teater dari Bali
Teater Dari Sulawesi Selatan, Teater dari Jakarta (Betawi), Teater dari Kalimantan Selatan, Teater dari Bali.
Teater Dari Sulawesi Selatan
Sinrili termasuk ke dalam jenis teater tutur.
Pencerita-penyanyinya (pasinrilik) memainkan keso. Keso adalah alat musik gesek seperti rebab, tetapi tentu saja berbeda dalam lagu, cerita, ataupun bahasanya. Pasinrili menyampaikan lagu-lagu nyanyiannya (kelong) sesuai dengan isi ceritanya atau lagu-lagu yang paling digemari penontonnya. Penonton sinrili ini sangat santai, mendengarkan sambil duduk, berbaring, minum kopi, diselingi ngobrol atau celetukan menyambut pasinrili. Terdapat tiga tema umum dalam cerita sinrili, yaitu yang berisikan kepah-lawanan (misalnya Toto Daeng Magasing dan Kappala Talung Batua), yang mengandung nilai-nilai keagamaan (seperti Tuanta Samalaka), dan cerita yang bertemakan cinta ditemukan dalam Sinrili I Jamila, Sinrili I Manakku, dan Sinrili I Daeng ri Makka.
Ada dua macam bentuk lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari kata denes dalam dialek Betawi yang berarti "dinas" atau "resmi"), aktor dan aktrisnya umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya bersetting kerajaan atau lingkungan kaum bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari.
Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
Wayang Gong merupakan seni tradisional pertunjukan khas Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang saat ini jarang dimainkan dan mengalami kepudaran. Walaupun banyak pihak mencoba mempertahankan kesenian ini dari serbuan budaya hampa makna (blank of meaning) dan serbuan budaya populer. Namun, kesenian ini tidak bisa bertahan dari guncangan budaya modern. Diperparah lagi dengan kurangnya pelakon dan penggemarnya.
Seni tradisional ini hampir sama dengan wayang orang di Jawa, hanya yang menjadi perbedaan, Wayang Orang latar belakang ceritanya Mahabrata atau Ramayana, sedangkan Wayang Gong, hanya mengisahkan Rama-yananya (Ramayana versi Banjar). Wayang gong dimainkan sambil diiringi musik gamelan, elemen dramatik, dan kating tari yang dikolaborasi dengan bunyi ketopong. Tentunya, tidak ditinggalkan juga pengolahan vokal pemain, juga ditambah basik tari dalam lakon yang terdiri atas beberapa tilisasi.
Biasanya, kesenian wayang gong dimainkan saat acara adat maupun seni pertunjukan yang berbasis kemasyarakatan, misalnya Muludan, Saprah Amal serta nuansa-nuansa keagamaan (value of religion) yang notabenenya meng-ajarkan moralitas (morality) dan kemanusiaan (humanity).
Seni Cepung Sembalun dilestarikan oleh I Made Ariawan, Sejak Juli 1997.
I Made Ariawan, pelindung sekaligus pelatih aktif hingga ke Lombok memburu lontar-lontar yang berhubungan dengan teks lagu Seni Cepung Sembalun ini.
Cekepung adalah seni Tembang/Gending Bali yang bernuansa Sasak, karena sumber sastra yang digunakan berasal dari Lontar Monyeh yang di tutis di atas daun lontar Berbahasa Sasak.
Diperkirakan tahun 1760 ditaklukannya Kera-jaan Lombok oleh Raja Karangasem menjadi awal tumbuhnya kesenian ini dan berkembang dari Lombok ke Bali, khususnya Karangasem di tahun 1920-an. Cerita pada lontar monyeh yang jadi acuan pada cerita ini merupakan karya sastra yg di tulis di atas daun lontar yg di dalamnya terkandung berbagai unsur tembang macepat yakni sinom, kumambang, dan dangdang. Bertutur tentang kisah cinta, patriotisme, dan heroisme.
Kisah ini disuguhkan dengan sangat menarik. Para pemain duduk setengah lingkaran, sedangkan seorang pemain membaca Lontar Monyeh dalam wujud nyanyian yang di terjemahkan oleh seorang pemain di sampingnya, sementara tembang mengalir alunan seruling mengikuti melodi lagu, para pemain lain memberi ornamentasi dengan olah vokal menirukan bunyi gamelan (cek dan puns) yang mungkin menjadi lahirnya kata "cekepung”.
Sekilas bait tembang dalam Lontar Monyeh : tabe pada warga sana-inggih titiang matur ring para semeton sareng samiwayah anom bini laki-minekadi sane alit,sane lingsir wiadin sane lanang miwah istritercoba belajar ngarang-niki wantah wau mapeuruk megegendinganpenyelimur ati sedih-jagi ngelinnurang manahe sane sedihporokne sang ini jari-sapunike kawentenan dewek titiangeisi hati liwat bingung-antuk kebingungan titiangesok mengadu kasemalan-titiang murunang dewek antuk demen titiangengadok diri jeneng ririh-titiang ngadu iagas mabet teken dewek duegmute yetu-wantah asapunikasok ngadu lelakon duang-wantah asapunika kawentenan dewek titiange.
Teater dari Jakarta (Betawi)
Lenong merupakan teater tradisional yang berasal dari Betawi. Kesenian tradisional lenong ini diiringi musik gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor, suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong. Lakon maupun skenario lenong pada umumnya mengandung pesan moral, yakni menolong orang yang lemah, membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong adalah bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dengan dialek Betawi. Lakon-lakon lenong berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai sehingga menjadi sebuah pertunjukan yang berlangsung semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh.Kisah yang dilakonkan dalam lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah 1001 malam.
Teater dari Kalimantan Selatan
Wayang Gong merupakan seni tradisional pertunjukan khas Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang saat ini jarang dimainkan dan mengalami kepudaran. Walaupun banyak pihak mencoba mempertahankan kesenian ini dari serbuan budaya hampa makna (blank of meaning) dan serbuan budaya populer. Namun, kesenian ini tidak bisa bertahan dari guncangan budaya modern. Diperparah lagi dengan kurangnya pelakon dan penggemarnya.
Seni tradisional ini hampir sama dengan wayang orang di Jawa, hanya yang menjadi perbedaan, Wayang Orang latar belakang ceritanya Mahabrata atau Ramayana, sedangkan Wayang Gong, hanya mengisahkan Rama-yananya (Ramayana versi Banjar). Wayang gong dimainkan sambil diiringi musik gamelan, elemen dramatik, dan kating tari yang dikolaborasi dengan bunyi ketopong. Tentunya, tidak ditinggalkan juga pengolahan vokal pemain, juga ditambah basik tari dalam lakon yang terdiri atas beberapa tilisasi.
Biasanya, kesenian wayang gong dimainkan saat acara adat maupun seni pertunjukan yang berbasis kemasyarakatan, misalnya Muludan, Saprah Amal serta nuansa-nuansa keagamaan (value of religion) yang notabenenya meng-ajarkan moralitas (morality) dan kemanusiaan (humanity).
Teater dari Bali
I Made Ariawan, pelindung sekaligus pelatih aktif hingga ke Lombok memburu lontar-lontar yang berhubungan dengan teks lagu Seni Cepung Sembalun ini.
Cekepung adalah seni Tembang/Gending Bali yang bernuansa Sasak, karena sumber sastra yang digunakan berasal dari Lontar Monyeh yang di tutis di atas daun lontar Berbahasa Sasak.
Diperkirakan tahun 1760 ditaklukannya Kera-jaan Lombok oleh Raja Karangasem menjadi awal tumbuhnya kesenian ini dan berkembang dari Lombok ke Bali, khususnya Karangasem di tahun 1920-an. Cerita pada lontar monyeh yang jadi acuan pada cerita ini merupakan karya sastra yg di tulis di atas daun lontar yg di dalamnya terkandung berbagai unsur tembang macepat yakni sinom, kumambang, dan dangdang. Bertutur tentang kisah cinta, patriotisme, dan heroisme.
Kisah ini disuguhkan dengan sangat menarik. Para pemain duduk setengah lingkaran, sedangkan seorang pemain membaca Lontar Monyeh dalam wujud nyanyian yang di terjemahkan oleh seorang pemain di sampingnya, sementara tembang mengalir alunan seruling mengikuti melodi lagu, para pemain lain memberi ornamentasi dengan olah vokal menirukan bunyi gamelan (cek dan puns) yang mungkin menjadi lahirnya kata "cekepung”.
Sekilas bait tembang dalam Lontar Monyeh : tabe pada warga sana-inggih titiang matur ring para semeton sareng samiwayah anom bini laki-minekadi sane alit,sane lingsir wiadin sane lanang miwah istritercoba belajar ngarang-niki wantah wau mapeuruk megegendinganpenyelimur ati sedih-jagi ngelinnurang manahe sane sedihporokne sang ini jari-sapunike kawentenan dewek titiangeisi hati liwat bingung-antuk kebingungan titiangesok mengadu kasemalan-titiang murunang dewek antuk demen titiangengadok diri jeneng ririh-titiang ngadu iagas mabet teken dewek duegmute yetu-wantah asapunikasok ngadu lelakon duang-wantah asapunika kawentenan dewek titiange.