Film Berformat Konvensional Seluloid
Film Berformat Konvensional Seluloid
Arsip Film Jadi Referensi
Beberapa film berformat konvensional seluloid masih belum terarsipkan dengan baik sehingga sulit untuk dicari. Restorasi dan konversi arsip film ke bentuk digital juga perlu dilakukan dengan memperhatikan kualitas agar suatu saat dapat dijadikan referensi bagi reproduksi film.
Sutradara muda Anggy Umbara mengaku kesulitan mengakses film-film yang disutradarai ayahnya, Danu Umbara, karena sebagian di antaranya tak ditemukan di lembaga arsip film Simatek. Film ayahnya yang diproduksi pada 1970-an tak terarsipkan dengan baik.
"Anaknya mau nonton film ayahnya tidak bisa. Dari 20 judul, saya baru bisa menonton dua film yang sudah dikonversi ke digital. Ini membuktikan pengarsipan film Indonesia kacau. Saya juga tidak tahu berada di mana sebagian karya ayah saya," ujar Anggy, Kamis (18/8) lalu, di Jakarta. Ia pernah berusaha mencari karya ayahnya di Hongkong dan Australia karena ada informasi karya ayahnya disimpan di sana.
Sebagai sineas muda, Anggy memerlukan referensi saat akan memproduksi atau menyutradarai film. "Pengarsipan dan restorasi film penting karena suatu saat dokumen itu digunakan sebagai representasi sejarah dan kebudayaan," tuturnya.
Film ayahnya, Djalang (1969) dan Pengejaran ke Neraka (1971), belum pernah ia tonton, padahal merupakan karya yang menarik untuk didalami. "Tak heran produser memilih untuk mengarsipkan film di luar negeri karena lebih aman," kata Anggy.
Ia mengingatkan, konversi film negatif seluloid 35 mm ke digital harus memperhatikan kualitas. Sutradara Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 itu menggunakan beberapa referensi film Warkop zaman dulu versi digital video recorder. Konversi pun perlu memperhatikan dimensi film dari 3:4 ke 16:9 yang sering dilakukan dengan tak sempurna.
"Ada beberapa yang diambil, tetapi bukan data high resolution (kualitas tinggi). Dimensinya terpotong sehingga resolusinya tak penuh. Teknologi terus meningkat, dari 480p, 720p, 1080p, dan kini 4K," kata Anggy.
Restorasi dan konversi film ke digital memerlukan komitmen pemerintah sebagai upaya menjaga aset kebudayaan. Prosesnya pun perlu diperhatikan agar kualitasnya baik. "Restorasi membutuhkan dana besar. Film adalah kekayaan intelektual, bisa ditayangkan kembali, dan menghasilkan uang lagi," katanya.
Pengarsipan film digital juga perlu dilakukan berdasarkan kelompok karya film komersial dan film festival. Meskipun produksi film sudah menggunakan dokumen digital, pengelolaan arsip harus memperhatikan pemilik hak cipta dengan kategorisasi film publik dan bukan publik.
Sutradara muda Anggy Umbara mengaku kesulitan mengakses film-film yang disutradarai ayahnya, Danu Umbara, karena sebagian di antaranya tak ditemukan di lembaga arsip film Simatek. Film ayahnya yang diproduksi pada 1970-an tak terarsipkan dengan baik.
"Anaknya mau nonton film ayahnya tidak bisa. Dari 20 judul, saya baru bisa menonton dua film yang sudah dikonversi ke digital. Ini membuktikan pengarsipan film Indonesia kacau. Saya juga tidak tahu berada di mana sebagian karya ayah saya," ujar Anggy, Kamis (18/8) lalu, di Jakarta. Ia pernah berusaha mencari karya ayahnya di Hongkong dan Australia karena ada informasi karya ayahnya disimpan di sana.
Sebagai sineas muda, Anggy memerlukan referensi saat akan memproduksi atau menyutradarai film. "Pengarsipan dan restorasi film penting karena suatu saat dokumen itu digunakan sebagai representasi sejarah dan kebudayaan," tuturnya.
Film ayahnya, Djalang (1969) dan Pengejaran ke Neraka (1971), belum pernah ia tonton, padahal merupakan karya yang menarik untuk didalami. "Tak heran produser memilih untuk mengarsipkan film di luar negeri karena lebih aman," kata Anggy.
Ia mengingatkan, konversi film negatif seluloid 35 mm ke digital harus memperhatikan kualitas. Sutradara Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 itu menggunakan beberapa referensi film Warkop zaman dulu versi digital video recorder. Konversi pun perlu memperhatikan dimensi film dari 3:4 ke 16:9 yang sering dilakukan dengan tak sempurna.
"Ada beberapa yang diambil, tetapi bukan data high resolution (kualitas tinggi). Dimensinya terpotong sehingga resolusinya tak penuh. Teknologi terus meningkat, dari 480p, 720p, 1080p, dan kini 4K," kata Anggy.
Restorasi dan konversi film ke digital memerlukan komitmen pemerintah sebagai upaya menjaga aset kebudayaan. Prosesnya pun perlu diperhatikan agar kualitasnya baik. "Restorasi membutuhkan dana besar. Film adalah kekayaan intelektual, bisa ditayangkan kembali, dan menghasilkan uang lagi," katanya.
Pengarsipan film digital juga perlu dilakukan berdasarkan kelompok karya film komersial dan film festival. Meskipun produksi film sudah menggunakan dokumen digital, pengelolaan arsip harus memperhatikan pemilik hak cipta dengan kategorisasi film publik dan bukan publik.
"Cloud computing"
Pada kesempatan terpisah, produser dan sutradara film indie SNAP Films Amriy Ramadhan mengaku mengutamakan pengarsipan dokumen master di cloud computing (komputasi awan atau penyimpanan di internet) milik komunitasnya. Langkah itu diambil karena tak semua film ditujukan untuk publik yang diakses gratis ataupun berbayar.
"Pernah ditawari Indonesia Film Center untuk mengarsipkan film di sana. Film dibuat sesuai dengan tujuannya baik untuk festival atau untuk publik. Saat ini, ID Film Center menjadi pilihan terakhir pengarsipan. Produser harus mengetahui syarat dan ketentuan pengarsipannya, menjamin film kita benar-benar aman," kata Amriy.
Menurut dia, dokumen master digital kini bisa diarsipkan di beberapa platform media. Selain dikelola secara pribadi dan di rumah produksi, jasa situs publik Netflix, Youtube, Vidsee, Raketti, dan Bahasinema dapat digunakan sebagai sarana distribusi, sekaligus penyimpanan dokumen.
Pengagas Komunitas Pengarsipan Film Bandung "Tubagus Wanara", Yustinus Kristianto, mengatakan, film berformat digital tetap perlu diarsipkan secara terintegrasi karena saat ini pengarsipan masih dilakukan secara pribadi dan komunitas.