Penari Kontemporer, Karya Inprovisasional, Kazuo Ohno

Penari Kontemporer, Karya Inprovisasional, Kazuo Ohno

Membaca Ulang Kazuo Ohno

Penari kontemporer asal Jepang, Takao Kawaguchi, menjungkir balik improvisasional butoh dengan butoh. Ia memfotokopi semirip mungkin karya-karya improvisasional Kazuo Ohno, salah satu ”dewa” butoh. Fotokopi itu dipilih menjadi pembuka ”musim” Art Summit Indonesia 8, yang berhasrat membaca ulang peta seni pertunjukan kontemporer

Persis 21 tahun silam, Kazuo Ohno menjadi salah satu penanda penting Art Summit Indonesia. Itulah kali pertama festival seni pertunjukan tiga tahunan itu digelar dan kehadiran Ohno dalam Art Summit Indonesia memberikan bobot bagi si festival baru kala itu.

Senin (15/8), Kazuo Ohno kembali ”hadir” dalam forum Art Summit Indonesia (ASI) 8, seolah membuka lagi perhelatan yang sempat absen digelar pada 2013. Kazuo Ohno ”hadir” ketika para pengampu festival tiga tahunan itu ingin membaca ulang relevansi keberadaan ASI di medan seni pertunjukan Indonesia, Asia, dan dunia.

Terima kasih kepada Takao Kawaguchi yang ”menghadirkan” Kazuo Ohno secara istimewa. Kawaguchi memfotokopi cuplikan karya terbaik Ohno, ditarikan ulang semirip mungkin dengan cara sang ”dewa” butoh (genre tarian kontemporer Jepang) menarikannya.

Seperti paradoks, karya-karya Ohno lahir dari sebuah penghayatan tubuh yang melahirkan gerakan-gerakan spontan, improvisasional, tak terencana. Lalu, tiba-tiba gerakan ”yang tak pernah dirancang” Ohno itu dijadikan patokan, menjadi rancangan gerak yang harus diikuti Kawaguchi dengan semirip mungkin, lewat koreografi dua babak ”About Kazuo Ohno” karya Kawaguchi.

Di awal babak keduanya, di atas panggung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kawaguchi berdiri dengan tubuh yang menegang, memegang sebuah bunga kertas pucat. Kawaguchi bahkan memakai kostum serupa dengan kostum Ohno saat menarikan ”My Mother”, salah satu karya paling melegenda sang maestro butoh.

Seperti Ohno, Kawaguchi menarikan cuplikan ”My Mother” dengan gerakan sangat perlahan. Bedanya, gerak tubuh meregang Ohno dituntun hasrat jiwa, bukan oleh rencana. Dalam catatan proses berkarya di laman internet proyek koreografi ”About Kazuo Ohno”, Kawaguchi mengutip kata-kata terkenal Ohno. ”Jika ada kata hati, bentuk (tari) akan hadir (dengan sendirinya).”

Membaca Ohno

Kawaguchi membangun karya dengan cara berbeda dari sang maestro butoh. Di panggungnya, Kawaguchi membangun koreografi ”About Kazuo Ohno” lewat riset panjang dan menonton dokumentasi The Portrait of Mr. O (film karya Chiaki Nagano), Admiring La Argentina (1977), My Mother, Dead Sea, dan Ghost. Kawaguchi ”membaca ulang” Ohno, menafsirnya, lalu ”menghadirkan kembali” tarian jiwa Ohno dengan menyusun koreografi yang semirip mungkin dengan ”tarian jiwa” Ohno.

Sebelum bersentuhan dengan karya-karya Ohno, Kawaguchi lebih dikenal sebagai seniman seni pertunjukan yang lekat dengan pertunjukan multimedia dan performance art. Sejak 1996 hingga 2008, Kawaguchi tergabung dalam Dumb Type, sebuah kelompok pertunjukan multimedia, tetapi terus terlibat dengan beragam proyek seni pertunjukan yang menonjolkan elemen pencahayaan, tata suara, dan video.

 Pergulatan kreatif Kawaguchi sepenuhnya berbeda dari proses pencarian penari butoh. Butoh genre tari kontemporer Jepang yang diperkenalkan Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata pada awal 1950 itu justru mengejar pencapaian estetik gerak melalui latihan fisik keras dan atau ”penghayatan” rinci otot, tulang, sendi, dan tubuh. Kawaguchi bahkan tak pernah menonton pementasan kedua ”dewa” butoh itu Hijikata dan Ohno—yang masing-masing meninggal dunia pada 1986 dan 2010 itu.

Kawaguchi justru baru menyelami butoh dalam proses penciptaan ”About Kazuo Ohno” pada 2013. Dalam catatan proses berkarya di laman internet proyek koreografi ”About Kazuo Ohno”, Kawaguchi menulis ”proses kreatif saya secara langsung melanggar hal terpenting yang disebut Ohno sebagai ’jika ada kata hati, bentuk (tari) akan hadir (dengan sendirinya).’ Saya terfokus pada gerak tubuh yang terekam kamera, memperlakukan gerak itu sebagai baju pelindung bagi tubuh saya, menjadi cetakan bagi gerak tubuh saya,” tulis Kawaguchi.

Membaca ASI

”Tantangan” Kawaguchi terhadap pemaknaan butoh yang diyakini Ohno itu dipilih para kurator ASI 8 untuk membuka perhelatan ASI 8 sepanjang 2016-2017. Selaku penggagas ASI pertama, Guru Besar Luar Biasa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Edi Sedyawati memberikan ceramah umum di sela peralihan babak pertunjukan Kawaguchi. Edi membeber bagaimana ASI pertama digagas Indonesia pada 1995 sebagai festival seni pertunjukan antarbangsa.

”Ranah Art Summit adalah model karya yang lazim? kita sebut ’kontemporer’ yang dibeber Edi sebagai karya cipta seni ’menerobos batas-batas’, mencari atau mengungkapkan hal-hal baru diadakan, diciptakan, atau direkayasa,” kata Edi.

Namun, peta medan seni pertunjukan dunia telah berubah dan bergeser dibandingkan dengan saat ASI pertama digagas Edi Sedyawati pada 1995. Dewan Kurator ASI 8 tahun 2016 yang terdiri dari Yudi Ahmad Tajudin, Helly Minarti, Nyak Ina Raseuki, Nungki Kusumastuti, dan Otto Sidharta menyatakan, dalam 15 tahun terakhir telah muncul pusat-pusat baru seni pertunjukan di kawasan Asia.

Yudi menyebut, pemahaman itu membuat Dewan Kurator ingin membaca ulang posisi Indonesia medan seni pertunjukan dunia. ”Hal itu penting untuk bisa mereposisi ASI. Itu mengapa ASI 8 akan digelar dalam beberapa tahapan selama 2016-2017, dengan berbagai ceramah publik dan lokakarya sebagai titik berat ASI sepanjang 2016,” kata Yudi. Ceramah publik dan lokakarya ASI 8 akan tersebar di sejumlah kota serta diampu pakar dan pelaku seni pertunjukan.

”Tentu saja, puncak dari ASI adalah pertunjukan terpilih. Pada 2016, pertunjukan yang akan digelar termasuk karya dari Kawaguchi, Joned Suryatmoko dari Indonesia, berikut kolaborasi musisi Indonesia dengan Jonas Baes dari Filipina dan Chong Kee Yong dari Malaysia. Puncaknya, antara lain, hasil program seniman mukim seniman Sri Lanka, Venuri Perera, di Indonesia, yang akan dipentaskan pada 2017, disusul pementasan karya seniman lain dari sejumlah negara pada Oktober 2017,” tutur Yudi.

Dengan sederet rencana kerja serius itu, kita pantas berharap ASI bakal melejit menjadi salah satu festival seni pertunjukan berpengaruh di dunia. Semoga saja para pemangku kepentingan seni pertunjukan Indonesia bisa mewujudkannya.

Sumber Kompas 21 Agustus 2016

Postingan populer dari blog ini

Pertunjukan Tari, Rias Cantik atau Tampan, Rias Tokoh

Pengemasan Produk Kerajinan dari Bahan Lunak

Olah Suara atau Vokal dengan teknik Pernapasan, Senam Wajah, Senam Lidah, Senam Rahang Bawah, Latihan Tenggorokan, Berbisik, Mengerik dan Bergumam, Bersenandung